Jumat, 06 Juni 2008

MY MOM AND DAD'S LOVE STORY


Waktu itu mamaku 18 tahun, papaku sekitar 21 tahun. Mamaku yang lulusan SMIP, terpaksa memupuskan cita-citanya yang ingin menjadi seorang psikolog, sesaat setelah ia lulus. Kakekku yang hanya seorang pegawai negeri di kota Depok, tidak tahu harus jual apa kalau mamaku meneruskan kuliah. Berharap mendapat pekerjaan, mamaku ikut Pakdeku ke Cilegon, kota kecil di ujung barat laut Pulau Jawa. Tidak ada yang spesial di kota tempat aku berpijak seumur hidupku ini. Hanya populasinya yang belum sepadat sekarang di saat itu, 1980.
Saat itu Pakdeku sudah berkeluarga. Istrinya seorang wanita keturunan Belanda, namun sama sekali tidak kelilhatan Belanda-nya. Bisa dibilang “Belanda Depok”. Ia teman mamaku sejak kecil. Waktu kecil, mereka paling senang bermain hujan-hujanan. Dan waktu kilat dan petir menyambar, mereka makin senang, anggapan mereka waktu itu adalah bahwa mereka sedang difoto oleh Tuhan. Aku yakin masa kecil mamaku sempurna. Istri Pakdeku ini-aku sebut Bude-nampaknya kurang suka dengan kehadiran mamaku di rumah kontrakan suaminya-Pakdeku-. Mamaku dianggap sebagai benalu. Terlalu bertolak belakang dengan persahabatan masa kecil mereka. Ya itulah, kata KEANE, Everybody’s Changing. Tapi mungkin benar, mana ada orang yang suka rumahnya ikut ditempati orang lain, walaupun itu adik iparnya sendiri, sahabat masa kecilnya. Ngasih makan, tempat tidur, buang-buang biaya. Tapi mamaku tidak mau mendapatkan itu semua, fasilitas yang diberikan Pakde dan Budeku, tanpa ada usaha berarti. Sebab mamaku anti sama istilah ngemis. Itu juga yang berusaha dia ajarin padaku dan saudara-saudaraku.
Layaknya seorang yang cuma numpang, setiap hari mamaku bisa dibilang lebih berperan sebagai pembantu. Bangun jam empat pagi, kemudian berberes rumah. Sedangkan si empunya rumah, yang satu kerja, sementara si nyonya ngerumpi dengan ibu-ibu tetangga. Kisah Bawang Merah dan Ibu Tiri ter-analogi-kan disini. Yang terparah, mamaku pernah tidur sampai jam 2 malam untuk mengisi plastik-plastik es kenyot dengan minuman kacang ijo sebanyak satu panci raksasa, untuk dijual kepada anak-anak esok harinya. Sedangkan si nyonya dengan lelapnya tidur dengan alasan menyusui anaknya. Hal itu sangat berat karena jam empat-nya mamaku sudah harus kembali bangun untuk melakukan rutinitas pembantu lainnnya. Hal itu terjadi hampir tiap hari. Tidak ada daybreak sama sekali. Bahkan pernah suatu hari mamaku ngeluyur membawa motor Pakdeku untuk sekedar jalan-jalan, saat pulang ia dipaksa menelan pahitnya caci maki dari kedua empunya rumah. Rupanya ada sebuah ketidakikhlasan juga di hati Pakdeku.
Selang tiga rumah di sebelah kiri rumah kontrakan Pakdeku, adalah rumah seorang karyawan PT Krakatau Steel. Disana bernaunglah sepasang suami istri belum beranak, namun ditemani beberapa orang adik dari si suami (aku tidak tahu ada berapa tepatnya). Salah satunya adalah papaku. Senasib dengan mamaku, ia juga menumpang di rumah kakaknya itu sambil mencari pekerjaan. Namun rupanya ada sedikit nasib baik pada papaku, ia jarang mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari yang punya rumah. Tapi walau bagaimana pun juga, tetap saja hidup menumpang itu tidak enak.
Populasi yang belum begitu ramai, dan hanya ada beberapa rumah saja yang sudah ditempati, mendorong hasrat bersosialisasi papaku untuk mengenal siapa saja penghuni rumah selang tiga rumah sebelah kanan. Mama dan papaku berkenalanlah. Merasa sebaya dan senasib, bertemanlah. Dari situ papaku mulai PDKT. Mamaku itu memang cantik. Saat kelas 2 SMA, ia pernah ditaksir gurunya sendiri yang usianya jauh lebih tua. Sampai guru tersebut mengajaknya untuk nikah. Mantan-mantan pacar mamaku, ada yang seorang pelaut, anggota kepolisian, sampai seorang seniman yang nggak jelas pun pernah jadi pengisi hatinya. Saking primadonanya, mamaku mendapat julukan “macan” dari gurunya yang naksir tadi. Julukan lain untuk mamaku yaitu “mawar”, namun bukan karena dianalogikan seperti keindahan dan keharuman bunga mawar, melainkan karena mamaku selalu tinggal di jalan mawar. Sudah tiga kali pindah rumah, rumah itu selalu terletak di jalan mawar. Entah JL Mawar Raya, atau Mawar saja, sekarang pun, kami tinggal di JL Mawar I. Kebetulan yang indah.
Kembali ke papaku. Setelah beberapa lama papaku mengenal mamaku, dan mengetahui aktivitasnya sehari-hari sebagai “pembantu” itu, timbul simpati dan empati dalam hati papaku, yang mungkin merupakan cikal-bakal keintiman muda-mudi yang setiap inchi hatinya mulai terlukis mahakarya Sang Pencipta bernama CINTA. Setiap pagi, papaku datang menemui mamaku hanya untuk sekedar memberikan pisang goreng dan berkata...... “sarapan dulu”. Karena papaku tahu kalau mamaku tidak akan dapat makan sampai jam 2 siang...........Romantisme pagi hari.
Mamaku masih punya satu kakak laki-laki yang masih tinggal dengan kakek nenekku di Depok. Melihat ke-naif-an mamaku, beliau tidak tega dan marah. Mamaku dipaksa pulang ke Depok. Apa boleh buat, mamaku ikut saja pulang kembali ke Depok. Hidup mamaku mulai membaik saat pulang ke Depok. Tidak ada lagi bungkus es kenyot dan kacang ijo sepanci raksasa. Tidak ada lagi caci maki ketika pulang dari sekedar jalan-jalan naik motor. Tapi yang paling disayangkan, tidak ada lagi romantisme pagi hari. Tidak ada lagi selaksa harapan yang muncul dari balik tangan-tangan yang menggenggam daun pisang berisi tiga buah pisang goreng, yang menyelusup diantara pagar-pagar pembatas merdeka dan perbudakan. Tidak ada lagi kata-kata “sarapan dulu” yang mengalun ikhlas dari bibir seorang pemuja, seperti mantra yang mengutuk setiap hati untuk berkata, “aaaaaaaa, so sweet!!”.
Papaku tidak mau menyerah. Ia akan tetap menunjukkan kesungguhannya walau bukan dengan pisang goreng lagi. Setiap ada kesempatan, ia berusaha menyusul mamaku ke Depok. Menempuh jarak berpuluh-puluh kilometer, Cilegon-Depok, menggunakan motor RX King merah yang dulu sedang eksis. Anda tentu bisa meramalkan apa yang terjadi ketika mereka bertemu. Apabila papaku tidak bisa mengembara ke Depok, namun sebuah perasaan menyebalkan bernama rindu menggelitiki sudut hatinya yang paling sensitif, papaku selalu bisa mengandalkan kotak pos di perempatan jalan sebagai wadah ekspresi kegombalannya, dan anehnya mamaku suka kegombalan itu.
Tahun berlalu. Papaku mendapat pekerjaan di PT Krakatau Steel. 18 November 1982, mereka mengucap janji sehidup semati di depan penghulu dan para saksi [kaya lagu dangdut!]. Romantisme pagi hari kini berganti, menjadi romantisme malam hari. Aku adalah salah satu dari tiga hasil romantisme malam hari tersebut. 18 November 2007 kemarin seharusnya mereka merayakan ulang tahun perkawinan perak [25 tahun]. Namun, kami anak-anaknya terlalu bodoh untuk dapat mengerti betapa spesialnya hari itu, dengan tidak mengingat , apalagi merayakannya. Maaf ya ma, pa, but we love you... and we always will.............